Minggu, 22 Juli 2012

0 Ma nene

Kategori : Ritual
Element Budaya : Ritual
Provinsi : Sulawesi Selatan
Asal : Toraja
Ma nene, merupakan sebuah upacara adat Toraja, di mana pada waktu tertentu peti-peti mati dikeluarkan dari makam-makam liang batu, lalu diletakkan di sebuah arena. Keluarga dan kerabat berkumpul. jenazah (masih utuh atau tinggal tulang-belulang) dan mengganti busananya dengan yang baru. Sang mayat diperlakukan seperti halnya orang yang masih hidup dan masih dianggap bagian dari keluarga besar.

Ritual ma' nene' diadakan sebagai wujud cinta kasih keluarga kepada yang telah meninggal.
Bahkan keluarga memiliki pengharapan bahwa arwah para leluhur akan menjaga mereka dari gangguan-gangguan yang jahat. Ini mencerminkan keunikan orang Toraja, dengan Cinta kasih yang tak mengenal batas dunia (orang hidup dan mati) sebagai salah satu bagian dari harmoni kehidupan.

Ritual Ma nene pada awalnya bermula dari sebuah tradisi yang mengharuskan jenazah segera dikuburkan (tidak boleh disimpan lama). Dalam ritual ma'nene' ini juga dilakukan pemotongan kerbau, dagingnya dimakan di temoat acara tidak boleh dibawa ke rumah. Karena waktu yang begitu singkat maka keluarga mungkin ada yang belum bisa memotong banyak kerbau. Karena itu, jika keluarga sudah mampu maka diadakanlah ritual Ma nene (mungkin dapat dikatakan sebagai upacara lanjutan).

Upacara ma' nene' hanya boleh dilaksanakan setelah panen, karena kalau dilaksanakan pada masa tanam, menyebabkan kerusakan padi oleh ulat dan tikus.

Kisah Ma`nene bermula dari seorang pemburu binatang bernama Pong Rumasek, ratusan tahun lampau. Ketika itu, dirinya berburu hingga masuk kawasan hutan pegunungan Balla. Di tengah perburuannya, Pong Rumasek menemukan jasad seseorang yang meninggal dunia, tergeletak di tengah jalan di dalam hutan lebat. Mayat itu, kondisinya mengenaskan. Tubuhnya tinggal tulang belulang hingga menggugah hati Pong Rumasek untuk merawatnya. Jasad itu pun dibungkus dengan baju yang dipakainya, sekaligus mencarikan tempat yang layak. Setelah dirasa aman, Pong Rumasek pun melanjutkan perburuannya.

Sejak kejadian itu, setiap kali dirinya mengincar binatang buruan selalu dengan mudah mendapatkannya, termasuk buah-buahan di hutan. Kejadian aneh kembali terulang ketika Pong Rumasek pulang ke rumah. Tanaman pertanian yang ditinggalkannya, rupanya panen lebih cepat dari waktunya. Bahkan, hasilnya lebih melimpah. Kini, setiap kali dirinya berburu ke hutan, Pong Rumasek selalu bertemu dengan arwah orang mati yang pernah dirawatnya. Bahkan, arwah tersebut ikut membantu menggiring binatang yang diburunya.

Pong Rumasek pun berkesimpulan bahwa jasad orang yang meninggal dunia harus tetap dimuliakan, meski itu hanya tinggal tulang belulangnya. Maka dari itu, setiap tahun sekali sehabis panen besar di bulan Agustus, setiap penduduk Baruppu selalu mengadakan Ma`nene, seperti yang diamanatkan leluhurnya, mendiang Pong Rumasek.

Bagi masyarakat Baruppu, ritual Ma`nene juga dimaknai sebagai perekat kekerabatan di antara mereka. Bahkan Ma`nene menjadi aturan adat yang tak tertulis yang selalu dipatuhi setiap warga. Ketika salah satu pasangan suami istri meninggal dunia, maka pasangan yang ditinggal mati tak boleh kawin lagi sebelum mengadakan Ma`nene. Mereka menganggap sebelum melaksanakan ritual Ma`nene status mereka masih dianggap pasangan suami istri yang sah. Tapi, jika sudah melakukan Ma`nene, maka pasangan yang masih hidup dianggap sudah bujangan dan berhak untuk kawin lagi.

Meski warga Baruppu termasuk suku Toraja. Tapi, ritual Ma`nene yang dilakukan setiap tahun sekali ini adalah satu-satunya warisan leluhur yang masih dipertahankan secara rutin hingga kini. Kesetiaan mereka terhadap amanah leluhur melekat pada setiap warga desa. Penduduk Baruppu percaya jika ketentuan adat yang diwariskan dilanggar maka akan datang musibah yang melanda seisi desa. Misalnya, gagal panen atau salah satu keluarga akan menderita sakit berkepanjangan.

Dalam bahasa Bugis, Toraja diartikan sebagai orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan. Namun, masyarakat Toraja sendiri lebih menyukai dirinya disebut sebagai orang Maraya atau orang keturunan bangsawan yang bernama Sawerigading. Berbeda dengan orang Toraja pada umumnya, masyarakat Baruppu lebih mengenal asal usulnya dari Ta`dung Langit atau yang datang dari awan.

Lama kelamaan Ta`dung Langit yang menyamar sebagai pemburu ini menetap di kawasan hutan Baruppu dan kawin dengan Dewi Kesuburan Bumi. Karena itu, sering terlihat ketika orang Toraja meninggal dunia, mayatnya selalu dikuburkan di liang batu. Tradisi tersebut erat kaitannya dengan konsep hidup masyarakat Toraja bahwa leluhurnya yang suci berasal dari langit dan bumi. Maka, tak semestinya orang yang meninggal dunia, jasadnya dikuburkan dalam tanah. Bagi mereka hal itu akan merusak kesucian bumi yang berakibat pada kesuburan bumi.

Kali ini, keluarga besar Tumonglo melakukan ritual Ma`nene, seperti tahun-tahun sebelumnya. Sejak pagi, keluarga ini sudah disibukkan serangkaian kegiatan ritual yang diawali dengan memotong kerbau dan babi. Bagi keluarga Tumonglo maupun sebagian besar masyarakat Toraja lainnya pesta adalah bagian yang tak terpisahkan setiap kali menghormati orang yang akan menuju nirwana. Meski mereka sudah banyak yang menganut agama-agama samawi, adat dan tradisi yang diwariskan para leluhurnya ini tak mudah ditinggalkan.

Kini, tiba saatnya keluarga Tumonglo menjalani ritual inti dari Ma`nene. Di bawah kuburan tebing batu Tunuan keluarga ini berkumpul menunggu peti jenazah nenek Biu--leluhur keluarga Tumonglo yang meninggal dunia setahun lalu--diturunkan. Tak jauh dari tebing, kaum lelaki saling bergandengan tangan membentuk lingkaran sambil melantunkan Ma`badong. Sebuah gerak dan lagu yang melambangkan ratapan kesedihan mengenang jasa mendiang yang telah wafat sekaligus memberi semangat pada keluarga almarhum.

Bersamaan dengan itu, peti jenazah pun mulai diturunkan dari lubang batu secara perlahan-lahan. Peti kusam berisi jasad nenek Biu. Keluarga Tumonglo mempercayai bahwa ada kehidupan kekal setelah kematian. Sejatinya kematian bukanlah akhir dari segala risalah kehidupan. Karena itu, menjadi kewajiban bagi setiap keluarga untuk mengenang dan merawat jasad leluhurnya meski sudah meninggal dunia beberapa tahun lalu. Dalam ritual ini, jasad orang mati dikeluarkan kembali dari tempatnya. Kemudian, mayat tersebut dibungkus ulang dengan lembaran kain baru oleh masing-masing anak cucunya.

Di desa Bu`buk, suasananya tak jauh beda dengan desa lainnya di Kecamatan Baruppu. Di tempat ini keluarga besar Johanes Kiding juga akan melakukan Ma`nene terhadap leluhurnya Ne`kiding. Sebelum ke kuburan, masyarakat dan handai taulan berkumpul di pelataran desa di bawah deretan rumah tradisional khas Toraja, Tongkonan.

*disarikan dari twit berseri O. Viktor Limbong dan notes facebook TONGKONAN BATARA MARAYA MANIKALLO*
quicchote_manene1.jpg
Dokumentasi: Media Indonesia
quicchote_manene2.jpg

0 komentar:

Posting Komentar

 

BELAJAR BUDAYA INDONESIA Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates